TIKnya anak Jepara. Bahasa resmi blog saya adalah STWB (Sante Wae Bro...)

PERKEMBANGAN TIK :: Teknologi Informasi dan Komunikasi

Selasa, 16 Maret 2010

PERKEMBANGAN TIK




Ilmu komunikasi merupakan ilmu pengetahuan yang tergolong muda. Sekalipun pada sisi yang lain, sejarah perkembangan ilmu komunikasi sudah tua sejak masa Yunani dan baru dirumuskan dalam era modern sebagai ilmu baru sejak dekade PD II.
Dewasa ini penelitian-penelitian komunikasi terus menerus dilakukan. Sejumlah jurnal ilmiah dalam bidang komunikasi terbit. Sejumlah karya ilmiah telah menjadi karya klasik dalam ilmu komunikasi seperti The People Choice, The Passing of Traditional Society, Mass Media and National Development, Personal Influence, Understanding Media, The Process and Effect of Communication, Public Opinion, dan sebagainya.
Demikian pula sejumlah figurnya seperti Paul F. Lazarfeld, Wilbur Schramm, Harold Lasswell, Walter Lippmann, Bernard Berelson, Carl Hovland, Elihu Katz, Daniel Lerner, David K. Berlo, Shannon, McComb, George G. Gebner, dan sebagainya telah dikenal sebagai tokoh-tokoh dalam kajian ilmu komunikasi.
Sedangkan di Indonesia terdapat sejumlah figur penting dalam bidang Ilmu Komunikasi seperti M. Alwi Dahlan, Astrid Susanto Sunario, Andi Muis, Jalaludin Rahmat, Ashadi Siregar, Anwar Arifin, Hafid Changara, Dedy N. Hidayat, Marwah Daud Ibrahim, Onong Efendi Uchayana, dan sebagainya. Karya-karya mereka telah memberi warna bagi eksistensi kajian ilmu komunikasi di Indonesia.
Ilmu Komunikasi merupakan fenomena Amerika, bila kita lihat dari penggunaan sebutan Ilmu Komunikasi. Perhatikanlah, di Indonesia pada awalnya lebih dikenal pendidikan Publisistik. Istilah yang menandakan meneruskan tradisi Jerman. Namun sejak dekade 70-an mulai digunakan istilah Ilmu Komunikasi dimana pendidikan jurnalistik hanyalah salah satu bidang yang terutama masuk dalam kelompok komunikasi massa.
Jejak tradisi Amerika dalam kajian ilmu komunikasi di Indonesia dapat dilihat melalui figur M. Alwi Dahlan yang berkesempatan belajar langsung pada para perintis kajian Ilmu Komunikasi seperti Wilbur Schramm, Elihu Katz, Gregory Bateson, dan sebagainya. M. Alwi Dahlan, doktor komunikasi pertama Indonesia ini, pada tahun 60-an sudah lulus dan berkiprah di Indonesia. Upaya M. Alwi Dahlan mengenalkan Ilmu Komunikasi tampak baik melalui Fisip UI maupun lembaga seperti penerbitan atau riset serta kantor pemerintahan. Tentu saja juga melalui organisasi seperti ISKI, Perhumas, dan terakhir menjadi Menpen.
Kenyataannya dalam pendidikan tinggi komunikasi di Indonesia, dominasi kiblat tradisi
Amerika dari kalangan administratif riset menonjol. Studi Ronny Adhikarya telah menunjukkan hal ini. Kecenderungan ini rupanya tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga umumnya di Asia Tenggara, dan juga di benua lain.
Ilmu Komunikasi berawal dari dekade 40-an ketika Amerika menghadapi propaganda dalam rangka menghadapi peperangan. Beberapa prakondisi ketika itu adalah adanya ancaman Nazi dalam memperluas kekuasaannya, kebutuhan untuk mendapat dukungan rakyat dalam rangka menghadapi perang dunia kedua, dan kebutuhan mempelajari propaganda lawan seperti Jerman. Maka dalam konteks inilah kajian komunikasi dirintis. Kemudian setelah masa perang, tradisi ini kemudian dilanjutkan bagi kepentingan dunia komersial.
Sejumlah ilmuwan yang dikumpulkan pemerintah—dalam hal ini departemen pertahanan—berkumpul dalam rangka kepentingan menghadapi peperangan. Beberapa figur tersebut, yang kemudian dilembagakan Scramm menjadi ilmu komunikasi, seperti Paul F. Lasarfeld, Hovland, Lasswell, Berelson, Shannon, Scramm, dan sebagainya. Setelah PD II, kajian komunikasi yang muncul dalam konteks perhatian yang besar terhadap propaganda dilanjutkan bagi kepentingan dunia industri.
Generasi yang melahirkan Ilmu Komunikasi ini yang kelak dikenal sebagai kelompok administrative riset cenderung mengembangkan komunikasi sebagai fenomena transmisi, yakni pengiriman informasi. Tidak heran pula, kajian komunikasi dominan sebagai kajian komunikasi massa. Dalam konteks inilah kita mengenal sejumlah model komunikasi seperti Shannon, Lasswell, Scramm, SMCR dan sebagainya.
Demikian pula penelitian komunikasi identik dengan kajian tentang media. Seperti Content Analysis, Uses & Gratification, Agenda Setting, Cultivation Analysis, survey dampak media, dan sebagainya. Model penelitian ini sudah familiar dalam kajian komunikasi. Namun sekali lagi menunjukkan dominannya kajian komunikasi massa.
Dewasa ini kita memerlukan untuk memahami tentang pentingnya memperhatikan kajian komunikasi yang lebih komprehensif. Bahwa komunikasi massa hanyalah salah satu bidang kajian dalam Ilmu Komunikasi. Padahal disebutkan bahwa awal abad 20 kajian lebih banyak tentang fenomena retorika. Sementara tahun 70-an mulai muncul kajian tentang komunikasi antar personal. Bidang-bidang seperti ini kelihatan belum begitu berkembang di Indonesia.
Satu hal penting pula yang perlu dipaparkan bahwa terjadi pergeseran penting dalam pandangan mengenai komunikasi di Amerika. Yakni pada awalnya, pemahaman tentang komunikasi berangkat dari pandangan yang humanistik sebagaimana dikembangkan kelompok Chicago. Tapi dengan munculnya kelompok administrative riset di masa propaganda tahun 40-an, terjadi perubahan cara pandang terhadap makna komunikasi. Dalam konteks ini dapat dimengerti kemudian pandangan filosofis tentang komunikasi mengalami pergeseran. Walaupun kemudian, menurut Everret M. Rogers, dewasa ini model komunikasi sebagai pemaknaan (meaning) juga mulai mendapat tempat kembali. Pendekatan yang lebih interpretatif yang kembali merujuk pada Max Weber, dan semacamnya.
Untuk itu perlu pula untuk memperhatikan tentang pandangan dalam memahami makna komunikasi. James W. Carey menyebut komunikasi bisa dilihat dalam dua cara pandang. Pertama model transmisi dan kedua model meaning atau ritual. Model kedua belum banyak diungkap. Hal ini dapat dimengerti karena terjadi fenomena di mana sejak kehadiran model komunikasi model Shannon yang linier telah menjadi mainstream dalam memahami makna komunikasi. Padahal sebelumnya, akar kajian komunikasi di Amerika sangat humanistik atau dalam hal ini berada dalam model meaning. Hal inilah yang terjadi.
Satu hal yang menarik bahwa dua model komunikasi diatas tidak lepas dari perkembangan peradaban Barat. Misalkan model transmisi dapat ditarik pada perkembangan peradaban di Barat ketika muncul modernisasi. Ketika terjadi aufklarung, rasionalitas manusia berkembang. Dalam masa ini ditandai arti penting transportasi seperti penjelajahan samudera atau dalam konteks Amerika dibangunnya jalan raya atau rel kereta api yang mampu menghubungkan daerah-daerah baru. Maka dalam konteks ini terjadi pemindahan barang dan orang serta tentunya ide-ide. Sehingga pendatang, yang kemudian mendatangi daerah-daerah baru, kemudian terjadi eksplorasi dan seterusnya. Dalam konteks semacam ini model transmisi dalam komunikasi berkaitan dengan pemindahan informasi di mana kontrol komunikator menjadi penting. Dengan pandangan kritis, dapat kita katakan model transmisi telah ditandai dengan eksploitasi, penguasaan, dan semacamnya.
Berbeda dengan model meaning, yang mencoba untuk melihat komunikasi berkaitan dengan upaya untuk membangun komunitas (maintain community). Sebuah kolektifitas yang akur, hangat, dan semacamnya. Kehidupan kelompok yang hangat dan akrab. Model ini dikembangkan dalam generasi Chicago, sebuah masyarakat perkotaan yang di awal abad 20, di mana dalam keanekaragaman hendak mencoba untuk membangun dan memelihara komunitas. Maka komunikasi dikaitkan dengan upaya untuk memelihara nilai-nilai ini. Maka dalam cara pandang ini berkaitan dengan upaya untuk memelihara yang telah ada. Komunikasi berkaitan dengan upaya untuk membangun integrasi.
Menjadi penting untuk disadari bahwa dewasa ini kembali perhatian muncul terhadap pendekatan budaya (cultural studies) ini. Dengan demikian, fenomena cultural studies dalam kontek tradisi pragmatis Amerika dapat dipahami dalam konteks ini. Seorang tokohnya, James W. Carey, dalam tulisan-tulisannya mencoba membahas cultural studies dalam kaitannya dengan tradisi pragmatis dari Chicago ini.
Upaya untuk menoleh kembali pada cara pandang mengenai komunikasi sebagai fenomena pemaknaan (meaning) tampaknya ketika terjadi kejenuhan terhadap dominasi dari tradisi kajian komunikasi dari generasi administratif riset yang telah mendominasi selama beberapa dekade.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar